Minggu, 04 Oktober 2009

Perjuangan Masih di MK Sampai Hari Ini Ternyata: Harry Maksum Judicial review


Perjuangan Masih di MK Sampai Hari Ini Ternyata: Harry Maksum Judicial Review
Mahkamah Konstitusi semoga masih ada celah untuk menjujurkan keadilan konstitusi di Indonesia. Karena rakyat telah tak percaya pada lembaga peradilan lain yang ada di Indonesia.

Kenangan Menemani Mbak Marissa Haque Kampanye Pawai Terakhir Keliling Bandung-CImahi: Nisye Maksum

Mbak Icha yang sabar dan solehah...

Nisye sekeluarga hanya mendoakan semoga semuanya diberi ganti oleh Allah Yang Maha Kuasa ya mbak?

Memang kita tidak bisa menerima kecurangan Presiden SBY dan Mayjen Yahya Ketua Bapilu yang menggeser semua pemenang putaran ke 3 DPR RI hanya dikarenakan seorang Linda Megawati teman dekatnya dan Nu'man Abdul Hakim Ketua DPW kita melalui sang Calo KPU Fernita Darwis.

Namun energi negatif mereka akan kembali kediri mereka sendiri sebentar lagi. Lihat saja bagaimana hukum Kekekalan Allah nanti berkerja untuk mereka mbak...
Saling mendoakan ya?

Salam cinta, Nisye.

Sabtu, 19 September 2009

Tawa Lebar Timses Ratu Atut Chosiyah Setelah Sukses Besar Menggulung Pasutri Ikang-Marissa



Saya mengirimkan sebuah sms panjang yang isi singkatnya adalah kurang lebih sebagai berikut: "... bahwa jangan pernah kita berhenti bermotivasi hanya karena Allah SWT semata."



Tawa Lebar Timses Ratu Atut Chosiyah Setelah Sukses Besar Menggulung Pasutri Ikang-Marissa, sangat mungkin tak lama lagi akan menjadi tangis pilu yang menusuk hati. Apalagi kalau bukan balasan atas energi jahat yang menggulung mereka sendiri -- hukum kekekalan energi...



Kami semua pastikan bahwa ada yang sedang tertawa lebar atas sukses gemilang timses Ratu Atut Chosiyah Setelah Sukses Besar Menggulung Pasutri Ikang-Marissa dalam Pileg kemarin ini. Namun Gusti Ora Sae, Allah SWT tidak pernah tidur, dan dunia selalu berputar.



Janganlah kita mengaku paling beriman dan paling mengerti bedanya surga dan neraka kalau untuk diri sendiri tidak mampu membedakan harus berkawan dengan siapa agar mampu menjadi Kekasi Allah...

Sabtu, 12 September 2009

Doa Marissa Haque untuk Bella Agar Sepintar Angelina Sondakh, dari FISIP Kom-UI, 2009



Terharu saya mendengar langsung doa seorang Ibu Marissa Haque untuk anaknya yang baru saja lulus dari FIB-UI jurusan Sastra Inggris. Bella atau nama lengkapnya Isabella Muliawati Fawzi sekarang meneruskan kuliahnya di FISIP-UI jurusan Komunikasi. Katanya ia ingin sepintar Tante Angelina Sondakh yang disaat hamil kemarin berhasil menyelesaikan ujian Masternya (MSi) dengan baik.

Semoga ya Bel? Doa dari Tante Nisye disini di Bandung...

Jumat, 11 September 2009

Ikang Fawzi di Kebun Raya Bali Bersama Dep PU, September 2009



Khabar terbaru dari suami sahabatku Marissa Haque, Ikang Fawzi dari Kebun Raya Bali bersama Dep PU.

Sabtu, 18 Juli 2009 | 03:20 WIB

Ikang Fawzi (45) laris di acara peringatan 50 tahun Kebun Raya Eka Karya Bali, di Bedugul, Tabanan, Rabu (15/7) malam. Laris bukan karena ia menjual suatu barang, tetapi banyak bapak dan ibu dari berbagai daerah yang datang sebagai undangan kebun raya itu memintanya berfoto bersama.

Mereka mengaku sebagai penggemar Ikang Fawzi sejak lama. ”Wah, silakan Pak. Mau bagaimana gayanya, Pak?” kelakar penyanyi rock ini. Namun, kehadirannya di sini bukan sebagai duta kebun raya. Ia diminta teman-temannya yang bekerja di Departemen Pekerjaan Umum untuk mengisi acara hiburan di Kebun Raya Eka Karya Bali.

Apa komentarnya? ”Saya kagum dengan kebun raya ini. Terbayang sehatnya badan dan rohani jika sering menghirup kesegaran alam yang asri, apalagi bareng keluarga,” katanya. ”Otomatis bermusik pun jadi lancar dan menyenangkan. Kebun raya ini membawa aura segar, musik jadi indah dengan sendirinya,” ujar Ikang.

Ia berharap bisa mengunjungi ke-20 kebun raya di Indonesia. Selama ini Ikang baru sempat mengunjungi kebun raya di Bogor, Cibodas, dan Bali. ”Meski baru taraf mengagumi keanekaragaman alam di kebun raya, saya sungguh mendukung pelestarian alam,” tuturnya. (AYS)

Sumber: http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/18/0320248/Kebun.Raya.dan.Musik

Kamis, 10 September 2009

Fernita Darwis Sesama Kader PPP Diduga Calo di KPU atas Hasil Putaran 3 DPR RI: Doaku untuk Marissa Haque

JAKARTA - SURYA- Lama menanti tanpa ada kepastian tindakan, membuat artis yang banting stir menjadi politisi, Marissa Haque, mendatangi lagi kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Selasa (8/9). Bersama sejumlah caleg yang gagal dalam Pemilu legislatif (Pileg) 2009, Marissa Haque Fawzi didampingi kuasa hukumnya, Dr. H. Eggy Sudjana, SH, MSi. Marissa mempertanyakan soal laporan dugaan politik uang dalam Pileg 2009 yang disampaikan ke KPK dua bulan lalu.

Setelah sempat melakukan protes karena menunggu terlalu lama yakni empat jam, Marissa dan belasan caleg gagal akhirnya difasilitasi untuk bertemu pimpinan KPK

Hari Senin (7/9) lalu, Marissa dan kawan-kawannya sudah menyambangi Mabes Polri. Mereka melaporkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), karena tidak menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). “Kami ingin menanyakan sejauh mana sikap KPK, terhadap laporan kita dua bulan lalu atas jual beli kursi. Seperti kursi saya di PPP seharga Rp1 miliar,” kata caleg PPP dari Dapil Jabar 1 yang meliputi Kota Bandung dan Cimahi.

Marissa Dia mengaku punya alat bukti, yakni rumah mewah baru di Bintaro, Tangerang, milik saksi dari PPP yakni Fernita Darwis. Padahal dengan suami yang pengangguran dan pekerjaannya dari berpolitik, hal itu jadi tanda tanya besar bagi Marissa darimana asal uangnya.


Marissa melaporkan Fernita Darwis dan suaminya Darwis Hamid karena diduga telah melakukan kesepakatan tertentu dengan oknum KPU untuk menjual kursinya senilai Rp1 miliar.Nasib serupa dialami 14 caleg lain dari partai berbeda. Mereka juga menyatakan, kursinya dihargai Rp 1 miliar.

Istri Ikang Fauzi itu juga membeberkan pengalaman nyata suaminya dengan broker kursi legislatif saat Pileg lalu. “Kami merasa dipermainkan dan didzolimi KPU. Selama ini kami merasakan negara tidak melindungi hak konstitusi sebagian warga negaranya,” tambah Icha, sapaannya.

Farouk, caleg gagal dari Partai Hanura juga mengaku jadi korban politik karena terjadi abuse of power. Karena itu dia ikut berjuang mendapatkan keadilan. Selain ke polisi dan KPK, kasus juga sudah dilaporkan ke Mahkamah Konstitusi, tapi belum ada tindak lanjut. jbp/nda

Minggu, 06 September 2009

Telah Lama Marissa Haque Temanku Memaafkan Megawati Soekarnoputri: Tak Ada Dendam, Tak Perlu Membalas



Sumber: www.marissahaque-dulu-pdip.com

Tulisan untuk Majalah Noor 14 Juli 2004
Oleh: Marissa Haque Fawzi



Kecerdasan Linguistik
.
Pada sebuah pertemuan dan pembekalan para kader PDI Perjuangan di Jakarta beberapa waktu berselang, sebagai seorang mahasiswa pasca sarjana Ilmu Linguistik, saya dibuat kagum atas pernyataan ditengah bercanda serius seorang Presiden perempuan—Megawati Soekarnoputri. Beliau mengatakan didalam pidatonya: “…saya lebih suka ketika pasangan hidup saya mengatakan Presiden adalah istri saya, dan bukan sebaliknya istri saya Presiden.” Ini adalah sebuah ekspresi jujur dan spontan yang menunjukkan sebuah kepekaan linguistik, sekaligus juga kesadaran akan jati diri dan pentingnya untuk mengekspresikan kepada publik bahwa seorang perempuan juga sangat-sangat mempunyai kesempatan untuk menjadi dirinya sendiri tanpa harus menjadi bayang-bayang dari pasangan hidupnya.

Jujur, saya baru mengenal lebih dekat Presiden kelima Republik Indonesia ini baru selang enam bulan belakangan. Sebelumnya saya yang masih sangat-sangat A-politik, lebih mengenal beliau melalui beberapa riset pribadi antara lain melalui melalui berita-berita dimedia cetak, film-film dokumenter Soekarno muda, serta beberapa film dokumenter tentang dirinya pribadi yang banyak beredar di Amerika Serikat (saat saya bersekolah di Ohio University) yang dibuat oleh para independent filmmaker dari dalam dan luar negeri yang menjunjung HAM serta demokrasi. Pada dasarnya saya memang selalu kagum akan energi para wanita yang mempunyai dedikasi pada pekerjaannya dengan adversity quotion yang tinggi. Saya memiliki sekurangnya lima orang role model lokal—Megawati Soekarnoputri, Kofifah Indar Parawansa, Erna Witoelar, Sri Adiningsih, dan Marie Pangestu. Dan dalam kesempatan kali ini saya hanya akan memfokuskan kepada Megawati, karena wanita tangguh yang satu ini sedang bertarung memperebutkan posisi Presiden Republik Indonesia ke enam pada tanggal 5 Juli 2004 yang tidak lama lagi akan berlangsung. Dan juga adalah satu satunya kandidat perempuan calom Preiden Republik Indonesia ke enam.

Biasanya saya bertemu Ibu Mega, begitu biasa saya menyapa beliau, dibanyak tempat dan kesempatan. Beberapa kali di kantor PDI Perjuangan di Lenteng Agung. Kali lainnya dikediaman beliau di jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat. Beberapa saat yang lalu, saya sangat sering mendampingi didalam kampanye Legislatif. Lamanya pertemuan-pertemuan yang tidak rutin tersebut sangat bervariasi, ada yang cukup lama tapi lebih sering dalam tempo yang singkat dan pendek tapi bermakna. Namun buat saya bukanlah waktu yang penting, namun kualitas pertemuan yang bermakna yang tak dapat kulupakan. Ibu Mega dalam pengamatan saya adalah sosok kontemplatif yang sangat hemat dalam mengkomentari lawan-lawan politiknya. Beliau dapat kita ukur dari setiap frasa serta diksi yang bermakna metaphorical yang selama ini diungkapkan. Bila kita teliti dengan pendekatan ilmu Linguistics, maka kelasanya adalah advance. Mengapa saya berani mengatakan demikian? Karena menjadi asal bunyi itu mudah, akan tetapi “bunyi” yang keluar dari bibir dengan mencapai sasaran tanpa harus “mematikan” secara telak (menunjuk hidung) lawan-lawannya secara diplomatis, hanya dapat dilakukan oleh orang-orang dengan tingkat kepekaan serta kecerdasan yang tinggi. Kita pernah mempunyai seorang pemimpin dengan tangan besi, pemimpin yang suka bicara akan tetapi menimbulkan keresahan sosial, nah dimata saya Presiden perempuan kita sekarang ini adalah seorang manusia dengan karakter dasar hemat bicara terhadap hal-hal yang tidak produktif, dan memilih untuk lebih banyak berbuat (produktif). Hasilnya dapat dilihat dari beberapa pencapaian yang significant hanya didalam pemerintahan yang hanya dua tahun sepuluh bulan saja.

Reaksi Ibu Mega terhadap masalah tenaga kerja Indonesia yang mendapat perlakuan tidak manusiawi di Malaysia (Nirmala Bonat) saya rasakan sebagai langkah yang sangat positif serta menjadi pionir dibandingkan dengan para kandidat Presiden lainnya. Dalam lima program besar Mega-Hasyim yang diusung, didalamnya terdapat undang-undang Buruh Migran yang merupakan langkah proaktif terhadap para penghasil devisa negara terbesar nomor tiga ini. Upaya positif lainnya yang harus disyukuri oleh kita semua adalah one gate policy (kebijakan satu pintu) di Batam, demi untuk mengontrol semua kegiatan yang berkaitan dengan pengiriman serta pemulangan para TKI/TKWI. Perlindungan inipun akan disempurnakan dengan perbaikan saluran diplomasi, pengawasan dan pengaturan yang sangat ketat npada perusahaan-perusahaan PJTKI yang nakal-nakal serta manipulatif, serta membangun lebih banyak pusat pelatihan yang diperlukan untuk persiapan mereka menghadapi dunia kerja di luar Indonesia.


Bukan Perempuan Biasa
Saya selalu terkesan saat jumpa Ibu Mega. Biasanya beliau memberikan senyum keibuan dengan kontak mata hangat sambil menyapa: “Bagaimana hari ini, sehat?” Sebuah sapaan sederhana namun sejuk.

Dimata saya Ibu Mega adalah sosok ibu yang feminin dan religius. Beberapa kali saya menjumpai beliau di jalan Teuku Umar saat baru selesai sholat. Pernah pada suatu saat saya menyaksikan beliau membuatkan tehnya sendiri untuk sang suami tercinta. Juga sebagai seorang Eyang Putri (sang cucu memanggil beliau dengan panggilan sayang Pupu untuk sang kakek dan Mumu untuk sang nenek) mendekap bahagia sang cucu didadanya sabari ketiduran disofa. Sebagai pencinta tanaman (beliau pernah mengenyam kuliah di Fakultas Pertanian, Universitas Pajajaran, Bandung), sekali saya menyaksikan beliau menyapa tanaman-tanaman koleksinya dipagi hari.



Sering terlintas dalam kepalaku akan rumitnya hidup seorang perempuan presiden. Alangkah berkurangnya kenikmatan hidup berwira-wiri dengan memakai kimono atau daster dirumah, sementara para pengawal atau ajudan selalu mengitari hampir disetiap langkah geraknya? Sementara seorang perempuan seperti saya, sepulang kerja dengan nikmat memakai masker pelembab wajah, obat jerawat, dan daster rumah kesayangan sembari mengangkat kaki disofa sambil bercanda dengan suami, anak-anak, serta ayah mertua yang kebetulan sekarang tinggal bersama kami dirumah. Menanyakan ini dan itu pada pembantu serta tukang masakku, juga supir kami yang tinggal dirumah. Semua itu saya lakukan tanpa beban, karena memang saya hanyalah perempuan biasa yang ibu rumah tangga tapi sekaligus berkegiatan diluar rumah. Hingga bilamana pada saat yang lain saya menyaksikan wajah Ibu Mega yang biasanya charming kemudian tampak kusut, pasti sesuatu yang besar sedang terjadi. Buat saya yang juga seorang perempuan, hal ini sangat-sangat manusiawi. Seperti halnya seorang ibu terhadap anak-anaknya, maka bila Ibu Mega tampak mengomel kepada anak-anaknya saat rapat internal partai, hal tersebut saya anggap sebagai sebuah ekspresi cinta tulus dari seorang ibu terhadap anak-anaknya karena ingin anak-anaknya tersebut maju dan siap bersaing didalam menghadapi sebuah dunia yang berisi pertarungan dahsyat. Karena jujur saja, saya mulai sangat faham dengan kondisi partai yang saya masuki ini ketika mereka menang dan tidak siap menjadi pemenang pada tahun 1999. Tapi itulah barangkali ujian tapi sekaligus kelebihan seorang perempuan pemimpin partai dengan segala kelebihan dan kekurangannya sebagai manusia, tetap menyambut optimis tongkat estafet yang diserahkan kepadanya untuk memimpin sebuah negeri besar dengan 217 juta penduduknya dalam kondisi sosial-ekonomi yang kocar-kacir saat ditinggal oleh beberapa pemimpin sebelumnya. Bila dalam penampilannya beliau—seperti halnya kita para ibu—tampak kesal, ada amarahnya sekali-kali, semua itu ada dalam koridor cinta.

Mewarisi Krisis Multidimensi
Ketika menerima mandate sebagai Presiden RI kelima untuk menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid, Ibu Mega mewarisi krisis multidimensi yang telah berakar sebagai warisan dari era Orde Baru. Masih terbayang dibenak kita saat penghujung kejayaan Orba rakyat antri sembako, nilai tukar Rupiah melambung tak terkendali, pembumihangusan kota Jakarta, pembunuhan mahasiwa Trisakti, kasus Semanggi, serta ribuan orang hilang tak tentu rimbanya. Bahkan seorang suami sahabat saya (bintang film Eva Arnaz) turut hilang dengan isu dikremasi hidup-hidup di Cilincing. Kita semuapun masih teringat juga masih merasa trauma besar akan kasus serbuan serta pembunuhan yang terjadi di kantor PDI Perjuangan tanggal 27 Juli. Tapi itulah barangkali salah satu kelebihan dari seorang pemimpin perempuan bernama Megawati yang dengan takdir hidupnya serta ketangguhan (adversity quotion) membawanya pada puncak kepemimpinan negara kita tercinta Indonesia tanpa dilandasi dendam. Beliau mengawali kepemerintahannya dengan bahasa cinta dengan memakai unsur nur didalam Islam. Tak ada dendam, tak perlu membalas, karena yang utama adalah kerja keras untuk menyelamatkan bangsa dan negara tercinta Indonesia untuk hadir dengan harga diri yang tinggi dimata internasioanl serta dapat membanggakan anak cucu.


Bila didalam pemerintahan yang baru 2 tahun 10 bulan ini masih banyak masyarakat mencemooh akan hasil signifikan yang dibuat oleh Ibu Megawati dan tim kerjanya, tentunya karena hidup kita ini bukanlah panggung sandiwara yang dapat dengan mudah disulap dengan cara membalikkan telapak tangan. Dengan sudah mulai terurainya benang kusut yang melilit negeri ini, bantuan IMF yang saat lalu sangat diagungkan oleh kelompok Orba sudah dihentikan, ekonomi makro sudah mulai berdenyut, dan hal-hal positif lainnya mulai muncul, sesungguhnya tinggal kita memberikan kesempatan sekali lagi dalam lima tahun kedepan untuk Ibu Mega membereskan pekerjaan-pekerjaan rumahnya yang belum selesai demi mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, berdaulat, aman dan bersih dari korupsi. Insya Allah demikian adanya.